Oleh
: Benny Afwadzi
Perbedaan pada dasarnya merupakan sunnatullah
yang ada dalam dunia ini. Munculnya variasi bentuk manusia, perbedaan warna
kulit, bermacam-macamnya bahasa pada dasarnya adalah suatu yang tak dapat
diingkari eksistensinya. Begitu pula watak, pikiran serta kesukaan manusia,
tentunya semua itu tidaklah sama. Hal ini juga menimbulkan perdebatan khilafiyah,
yang memang pada hakikatnya antara satu manusia dengan manusia lainnya terdapat
perbedaan pemahaman. Namun, akan mengakibatkan suatu pro-kontra di masyarakat jika
dalam masalah khilafiyah itu, salah satu pendapat yang ada di dalamnya
dilegitimasi sebagai pendapat yang benar dan dijadikan fatwa. Apalagi hal itu
dikoordinasi oleh salah satu organisasi keagamaan serta disebarkan pada
khalayak ramai.
Itulah kiranya yang terjadi pada
problematika rokok pada beberapa saat yang lalu. Muhammadiyah, sebagai organisasi
Islam kedua terbesar di Indonesia lewat Majelis Tarjih dan Tajdidnya
mengeluarkan keputusan fenomenal dengan memberikan cap “haram” pada rokok. Sebagian
orang tidak begitu “wah” dalam merespon fatwa ini, sebab beberapa waktu sebelum
fatwa haram rokok Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah keluar, MUI sebagai organisasi
perkumpulan intelektual muslim sudah mengharamkannya terlebih dahulu. Akan
tetapi menarik kiranya jika kita menelaah fatwa haram Majelis Tarjih dan Tajdid
ini secara mendalam, sebab banyak pro-kontra dan sinyalemen-sinyalemen miring
yang terdapat dalam keputusan tersebut.
A. Definisi Rokok[2]
Rokok adalah silinder dari kertas
berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm
(bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi
daun-daun tembakau
yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan
membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya.
Manusia di dunia yang merokok untuk
pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual
seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, Ketika bangsa Eropa menemukan benua
Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap
rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai
muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang
merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan
semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu
kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam.
Telah
banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan kecanduan,
disamping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan, penyakit pencernaan, efek buruk bagi
kelahiran, dan emfisema.
Dengan demikian, secara kedokteran rokok memang memiliki banyak bahaya yang ada
di dalamnya.
B. Fatwa Haram Rokok Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah
Tanggal delapan Maret 2010, Majelis
Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah memberikan suatu fatwa yang kontroversial di
masyarakat. Fatwa tersebut berkenaan dengan salah satu konsumsi wajib
masyarakat yang memang terdapat perbedaan pendapat mengenainya, yaitu rokok. Argumentasi
mereka banyak didasarkan pada interpretasi normatif atas ayat-ayat al-Qur’an
dan hadis Nabi yang berisi larangan membuat madharat (bahaya). Selain
itu, mereka juga menggunakan pendekatan empiris di lapangan (lebih jelasnya
lihat form Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid).
Kalau permasalahan ini ditarik secara
historis, Majelis Tarjih dan Tajdid sebenarnya telah mengeluarkan hukum rokok
pada tahun 2005. Pada tahun tersebut, mereka menyatakan bahwa merokok hukumnya
boleh (mubah), yang berarti boleh dikerjakan, tapi kalau ditinggalkan lebih
baik. Namun, fatwa itu kemudian direvisi karena dampak negatif merokok mulai
dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tidak hanya oleh perokok.[3]
Dus, dalam pandangan Majelis Tarjih dan Tajdid, fatwa pertama bahwa hukum rokok
adalah mubah telah dihapus (naskh) oleh fatwa kedua yang berisi
pengharaman rokok.
Masyarakat dalam menanggapi fatwa ini
juga mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Sebagian mengamininya, tetapi
banyak pula yang menentang keputusan tersebut, bukan hanya dari kalangan NU
saja, akan tetapi juga dari warga Muhammadiyah. Menyikapi problematika ini, Ketua
Muhammadiyah, Din Syamduddin mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu bingung
menyikapinya. Beliau menjelaskan, "Fatwa-fatwa itu kan tidak mengikat.
Menurut saya, kalau yang setuju fatwa, silakan diamalkan tetapi jika tidak
setuju, ya tinggalkan, masyarakat jangan bingung,".[4]
Fatwa tersebut sebenarnya juga
memunculkan sinyalemen miring pada Muhammadiyah, sebab Bloomberg Initiative
(salah satu organisasi) mengelontorkan dana sekitar Rp. 39 miliar atau US
$4.195.442 untuk mendukung gerakan anti rokok di Indonesia dalam rentang waktu
2007-2010. Salah satu institusi yang disebut-sebut menerima dana itu adalah
ormas Islam kedua terbesar di negeri ini, Muhammadiyah dengan jatah Rp. 3,6
miliar. Beberapa pihak bertanya-tanya, apakah pemberian grant ini ada
hubungannya dengan fatwa pengharaman rokok oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dan
Tajdid (MTT) Muhammadiyah Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam surat fatwa haram
Nomor 6//SM/MTT/III/2010 pada Senin malam 8 Maret 2010 yang lalu? Tudingan
miring adanya “fatwa pesanan” yang dialamatkan kepada MTT Muhammadiyah amat
beralasan apabila kita merujuk pada fatwa yang dikeluarkan oleh MTT pada tahun
2005 untuk kasus yang sama bahwa merokok masih berstatus MUBAH. Mengapa terjadi
perubahan fatwa yang terkesan begitu cepat dan tergesa-gesa? Apalagi kampanye
rokok memudaratkan dari segi kesehatan dan ekonomi yang menjadi alasan kuat
untuk pengharaman pada fatwa 2010 ini sudah didengungkan oleh banyak kalangan
pada tahun 2005.[5] Namun,
hal tersebut dibantah oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas, salah satu Ketua PP.
Muhammadiyah, dengan tegas mengatakan, tidak hubungan antara grant dari Bloomberg
Initiative dengan fatwa haram rokok. Bahkan beliau tidak tahu mengenai
pengucuran dana itu. Sebagai Ketua PP. Muhammadiyah yang seharusnya mendapatkan
laporan atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh seluruh elemen di
Muhammadiyah tentu menimbulkan kecurigaan.[6]
C. Keputusan Bahsul Masail NU Tentang
Hukum Rokok[7]
Sebagai warga NU, tentunya haruslah
mengetahui hukum rokok dalam perspektif NU dalam bahsul masailnya. Menurut
hasil bahsul masail NU, hukum rokok memang terbagi menjadi
bermacam-macam hukum tergantung dari individu masing-masing. Semua itu bertolak
pada persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan
terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang
berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan
dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya
beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya. Seandainya
semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi
relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian
pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka
akan sepakat pula dengan hukum haram.
Oleh sebab itu, hukum rokok terbagi
menjadi tiga : Pertama; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena
rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa
hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan. Kedua ; hukum merokok
adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan
untuk dijadikan dasar hukum haram. Ketiga; hukum merokok adalah haram
karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan
informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan
berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya
setelah sekian lama membiasakannya.[8]
D. Kesimpulan
Pada dasarnya, perbedaan merupakan
rahmat “ikhtilāf al-Ummah rahmah” dan bukan malah membuat perpecahan.
Dengan adanya variasi hukum, kita bisa memilih dan memilah mana hukum yang
sesuai dengan kondisi kita. Walaupun Majelis Tarjih telah mengeluarkan fatwa
haram rokok, akan tetapi hal tersebut hanyalah fatwa, dan fatwa merupakan
sesuatu yang tidak wajib diikuti dan tidak mengikat. Apalagi fatwa ini
dikeluarkan oleh Muhammadiyah dan bukan NU. Oleh sebab itu, mungkin fatwa ini
hanya terkait dengan warga Muhammadiyah dan kita sebagai warga NU tak perlu
terlalu ekstrem dalam menyikapinya.
Wallahu a’lam bi
al-Shawab
[1] Makalah ini dipresentasikan pada
diskusi POKER di Wisma Joko Tingkir tanggal 9 Mei 2010.
[3] Lihat www.antaranews.com. Tanggal 9 Maret 2010. Kategori
mubah ini kurang disetujui penulis, sebab dijelaskan bahwa lebih baik
meninggalkannya. Oleh sebab itu, penulis lebih menyetujui mereka menyebutnya
sebagai makruh.
[6] Ibid.
[7] Pembahasan ini sebenarnya agak
menyimpang dari judul yang dibahas, akan tetapi hal ini perlu dipaparkan guna
mengambangi pemikiran Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Selain itu juga, keputusan
ini (baca: hasil bahsul masail NU) menjadi produk hukum yang sudah dikonsumsi
oleh masyarakat luas.
0 komentar:
Posting Komentar