Sabtu, 09 Januari 2016

Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Tentang Haramnya Rokok

Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Tentang Haramnya Rokok[1]
Oleh : Benny Afwadzi
Perbedaan pada dasarnya merupakan sunnatullah yang ada dalam dunia ini. Munculnya variasi bentuk manusia, perbedaan warna kulit, bermacam-macamnya bahasa pada dasarnya adalah suatu yang tak dapat diingkari eksistensinya. Begitu pula watak, pikiran serta kesukaan manusia, tentunya semua itu tidaklah sama. Hal ini juga menimbulkan perdebatan khilafiyah, yang memang pada hakikatnya antara satu manusia dengan manusia lainnya terdapat perbedaan pemahaman. Namun, akan mengakibatkan suatu pro-kontra di masyarakat jika dalam masalah khilafiyah itu, salah satu pendapat yang ada di dalamnya dilegitimasi sebagai pendapat yang benar dan dijadikan fatwa. Apalagi hal itu dikoordinasi oleh salah satu organisasi keagamaan serta disebarkan pada khalayak ramai.
Itulah kiranya yang terjadi pada problematika rokok pada beberapa saat yang lalu. Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam kedua terbesar di Indonesia lewat Majelis Tarjih dan Tajdidnya mengeluarkan keputusan fenomenal dengan memberikan cap “haram” pada rokok. Sebagian orang tidak begitu “wah” dalam merespon fatwa ini, sebab beberapa waktu sebelum fatwa haram rokok Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah keluar, MUI sebagai organisasi perkumpulan intelektual muslim sudah mengharamkannya terlebih dahulu. Akan tetapi menarik kiranya jika kita menelaah fatwa haram Majelis Tarjih dan Tajdid ini secara mendalam, sebab banyak pro-kontra dan sinyalemen-sinyalemen miring yang terdapat dalam keputusan tersebut.
A.    Definisi Rokok[2]
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya.
Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, Ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk negara-negara Islam.        
  Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan kecanduan, disamping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan, penyakit pencernaan, efek buruk bagi kelahiran, dan emfisema. Dengan demikian, secara kedokteran rokok memang memiliki banyak bahaya yang ada di dalamnya.
B.     Fatwa Haram Rokok Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
Tanggal delapan Maret 2010, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah memberikan suatu fatwa yang kontroversial di masyarakat. Fatwa tersebut berkenaan dengan salah satu konsumsi wajib masyarakat yang memang terdapat perbedaan pendapat mengenainya, yaitu rokok. Argumentasi mereka banyak didasarkan pada interpretasi normatif atas ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang berisi larangan membuat madharat (bahaya). Selain itu, mereka juga menggunakan pendekatan empiris di lapangan (lebih jelasnya lihat form Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid).
Kalau permasalahan ini ditarik secara historis, Majelis Tarjih dan Tajdid sebenarnya telah mengeluarkan hukum rokok pada tahun 2005. Pada tahun tersebut, mereka menyatakan bahwa merokok hukumnya boleh (mubah), yang berarti boleh dikerjakan, tapi kalau ditinggalkan lebih baik. Namun, fatwa itu kemudian direvisi karena dampak negatif merokok mulai dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tidak hanya oleh perokok.[3] Dus, dalam pandangan Majelis Tarjih dan Tajdid, fatwa pertama bahwa hukum rokok adalah mubah telah dihapus (naskh) oleh fatwa kedua yang berisi pengharaman rokok.
Masyarakat dalam menanggapi fatwa ini juga mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Sebagian mengamininya, tetapi banyak pula yang menentang keputusan tersebut, bukan hanya dari kalangan NU saja, akan tetapi juga dari warga Muhammadiyah. Menyikapi problematika ini, Ketua Muhammadiyah, Din Syamduddin mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu bingung menyikapinya. Beliau menjelaskan, "Fatwa-fatwa itu kan tidak mengikat. Menurut saya, kalau yang setuju fatwa, silakan diamalkan tetapi jika tidak setuju, ya tinggalkan, masyarakat jangan bingung,".[4]
Fatwa tersebut sebenarnya juga memunculkan sinyalemen miring pada Muhammadiyah, sebab Bloomberg Initiative (salah satu organisasi) mengelontorkan dana sekitar Rp. 39 miliar atau US $4.195.442 untuk mendukung gerakan anti rokok di Indonesia dalam rentang waktu 2007-2010. Salah satu institusi yang disebut-sebut menerima dana itu adalah ormas Islam kedua terbesar di negeri ini, Muhammadiyah dengan jatah Rp. 3,6 miliar. Beberapa pihak bertanya-tanya, apakah pemberian grant ini ada hubungannya dengan fatwa pengharaman rokok oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dan Tajdid (MTT) Muhammadiyah Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam surat fatwa haram Nomor 6//SM/MTT/III/2010 pada Senin malam 8 Maret 2010 yang lalu? Tudingan miring adanya “fatwa pesanan” yang dialamatkan kepada MTT Muhammadiyah amat beralasan apabila kita merujuk pada fatwa yang dikeluarkan oleh MTT pada tahun 2005 untuk kasus yang sama bahwa merokok masih berstatus MUBAH. Mengapa terjadi perubahan fatwa yang terkesan begitu cepat dan tergesa-gesa? Apalagi kampanye rokok memudaratkan dari segi kesehatan dan ekonomi yang menjadi alasan kuat untuk pengharaman pada fatwa 2010 ini sudah didengungkan oleh banyak kalangan pada tahun 2005.[5] Namun, hal tersebut dibantah oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas, salah satu Ketua PP. Muhammadiyah, dengan tegas mengatakan, tidak hubungan antara grant dari Bloomberg Initiative dengan fatwa haram rokok. Bahkan beliau tidak tahu mengenai pengucuran dana itu. Sebagai Ketua PP. Muhammadiyah yang seharusnya mendapatkan laporan atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh seluruh elemen di Muhammadiyah tentu menimbulkan kecurigaan.[6]
C.    Keputusan Bahsul Masail NU Tentang Hukum Rokok[7]
Sebagai warga NU, tentunya haruslah mengetahui hukum rokok dalam perspektif NU dalam bahsul masailnya. Menurut hasil bahsul masail NU, hukum rokok memang terbagi menjadi bermacam-macam hukum tergantung dari individu masing-masing. Semua itu bertolak pada persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya. Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.
Oleh sebab itu, hukum rokok terbagi menjadi tiga : Pertama; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan. Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram. Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.[8]
D.    Kesimpulan
Pada dasarnya, perbedaan merupakan rahmat “ikhtilāf al-Ummah rahmah” dan bukan malah membuat perpecahan. Dengan adanya variasi hukum, kita bisa memilih dan memilah mana hukum yang sesuai dengan kondisi kita. Walaupun Majelis Tarjih telah mengeluarkan fatwa haram rokok, akan tetapi hal tersebut hanyalah fatwa, dan fatwa merupakan sesuatu yang tidak wajib diikuti dan tidak mengikat. Apalagi fatwa ini dikeluarkan oleh Muhammadiyah dan bukan NU. Oleh sebab itu, mungkin fatwa ini hanya terkait dengan warga Muhammadiyah dan kita sebagai warga NU tak perlu terlalu ekstrem dalam menyikapinya.     
Wallahu a’lam bi al-Shawab




[1] Makalah ini dipresentasikan pada diskusi POKER di Wisma Joko Tingkir tanggal 9 Mei 2010.
[2] Diambil dari www.wikipedia.org.
[3] Lihat www.antaranews.com. Tanggal 9 Maret 2010. Kategori mubah ini kurang disetujui penulis, sebab dijelaskan bahwa lebih baik meninggalkannya. Oleh sebab itu, penulis lebih menyetujui mereka menyebutnya sebagai makruh.
[4] Lihat www.antaranews.com. Tanggal 4 April 2010.
[5] Lihat www.kompasiana.com. Tanggal 6 April 2010.
[6] Ibid.
[7] Pembahasan ini sebenarnya agak menyimpang dari judul yang dibahas, akan tetapi hal ini perlu dipaparkan guna mengambangi pemikiran Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Selain itu juga, keputusan ini (baca: hasil bahsul masail NU) menjadi produk hukum yang sudah dikonsumsi oleh masyarakat luas.  
[8] Lihat www.NU.org.id

0 komentar:

Posting Komentar