Ilmu qira>’ah sering diposisikan sebagai ilmu yang berada pada dimensi
tekstualitas al-Qur’an. Beberapa ahli terkadang lebih melihat aspek seni dan
keragaman leksikalitas berupa waqf, ‘ibtida>’,’ima>lah, dan lain sebagainya tanpa menghubungkan ilmu ini pada kedalaman
ma’na al-Qur’an. Secara lebih jauh, ilmu ini ternyata memiliki hubungan
langsung dengan realitas historis sebagaimana
ungkapan az-Zarkasyi dalam al-Burha>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n tentang pengaruh qira>’ah terhadap hukum fikih yang dibebankan
kepada mukallaf.[1]
Untuk itu, membahas lebih jauh tentang pengaruh qira>’ah terhadap pembebanan hukum terlebih
tentang interpretasi al-Qur’an, merupakan hal yang memiliki urgensi untuk
dilakukan. Tulisan ini merupakan sedikit upaya mereview kembali gagasan
tersebut untuk disajikan kepada pembaca sebagai sebuah refleksi dan stimulasi
tentang sebuah khazanah kekayaan perspektif dalam studi al-Qur’an. Demikian
juga, interpretasi qiraat ini kemudian menempati tempat penting dalam
kitab-kitab tafsir, salah satunya adalah Bahrul Muhith karya Abu Hayyan
al-Andalusi, tulisan ini sedikit banyak akan mengulas bagaimana Qiraah memiliki
fungsi-fungsi tertentu dalam penafsiran Abu Hayyan. Di dalamnya, tentu terdapat
karakteristik yang berbeda dengan tafsir lainnya. Salah satu perbedaan ini
terletak pada analisa Abu Hayyan yakni kepercayaan bahwa ayat al-Qur’an
tersusun secara runtut dan runtutan itu mengandung makna dan pesan tertentu.
Hal ini pula yang membuka kemungkinan untuk menerapkan analisa sintagmatis
dalam menelaah penafsiran Abu Hayyan.
Keywords
: Qira>’ah, Analisa Sintagmatis, dan Bahrul Muhit.
A.
Pendahuluan
Pembahasan tentang ilmu qira>’ah sebenarnya tidak terlepas dari pembahasan I’ja>z al-Qur’a>n. Beragamnya cara baca tidak sekedar menjadi kekayaan bentuk
pelafalan al-Qur’an, namun juga memberikan kemudahan bagi setiap lisan orang
yang membacanya sesuai karakter lidah masing-masing. Selain hal tersebut, ada
sisi lain dari studi ilmu qira>’ah[2] yang juga memiliki urgensi untuk dibahas lebih lanjut, yakni
tentang pengaruh qira>’ah terhadap istinba>t hukum. Sehingga ilmu qira>’ah tidak hanya
menjadi ilmu yang berada pada kawasan tekstualitas al-Qur’an namun juga berada
dalam kajian esensialitas makna al-Qur’an.
Berangkat dari hal tersebut,
studi lebih jauh tentang aspek pengaruh qira>’ah terhadap istinbat hukum menjadi hal yang penting. Berawal dari hal
ini pulalah nantinya diketahui ketegasan posisi ilmu qira>’ah sebagai salah satu aspek yang dipertimbangkan oleh para mufassir
dalam proses interpretasi al-Qur’an ketika merangkai kitab tafsirnya. Dan jika
setiap mufassir memiliki imam dan ra>wi> qira>’ah-nya maing-masing, tentu akan muncul berbagai perdebatan lebih
lanjut tentang mana qira>’ah yang masyhur
dan yang sya>ż.
Dengan munculnya berbagai perdebatan tentang otentisitas qira>’ah ini, maka salah satu aspek lain yang perlu dijabarkan dalam
makalah ini adalah mengenai tradisi transformasi ilmu berdasarkan sanad yang
berujung dari Rasulullah. sehingga, dalam bebrapa poin dalam makalah ini nanti,
juga akan diwarnai dengan penjelasan singkat tentang imam dan rawi qira>’ah, berbagai pendapat ulama, dan penelusuran historisitas
perkembangan ilmu qira>’ah. Dari peran
sanad dalam transmisi qiraat, muncul sebuah pemahaman tentang adanya qiraah
mutawatir namun sebagian dianggap lemah sebagaimana hal ini terjadi juga dalam
hadis. Dan hal tersebut pula yang kemudian terjadi pada penafsiran al-Qur’an.
Pengunaan qiraah tersebut, juga dilakukan oleh Abu Hayyan dalam
mendukung upaya penafsiran ayat al-Qur’an. Secara lebih jauh tulisan ini akan
mengula bagaimana qiraah dalam bahrul muhit digunakan dan bagaimana Abu Hayyan
menindak lanjuti qiraah yang masuk sebagai bentuk kritik dan penyaringan qiraah
mutawatir dan syadz. Serta di antara qiraah tujuh dan qiraah lainnya[3],
mana qiraah yang dipilih oleh Abu Hayyan. Selain itu, bagaimana karakteristik
Abu hayyan dalam melakukan penafsiran al-Qur’an yang sekaligus menandai
perbedaan dengan mufassir lainnya.
B.
Biografi Abu Hayyan
1.
Kehidupan Abu Hayyan
Ia bernama
lengkap Atsiruddin Muhammad bin Yusuf bi Ali bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi
an-Nafzi. Namanya dinisbatkan pada Nafzah yang merupakan salah satu qabilah
dari suku barbar. Dan Nastiruddin merupakan julukannya. Abu Hayyan lahir pada akhir
bulan syawwal tahun 654 H[4]
atau 1256 M di Gharnathah, salah satu daerah yang terletak di Andalusia. Ia
berkiprah di Mesir dan Andalusia sebagai dua tempat yang melambungkan namanya.
Abu Hayyan
berperawakan tidak tinggi dan tidak pendek, berwajah bundar. Ia dikenal dengan
orang berjenggot lebat dan lebar. Abu Hayyan memiliki sifat-sifat yang
mendukung dalam capaian keilmuannya. Kebesaran Abu Hayyan dan dinginnya
tangannya telah terbukti mampu mencetak ulama besar seperti Taqiyyuddin bin
as-Subki. Seorang yang membaca al-Qur’an secara fasih, meski terkadang membaca
huruf kaf merip seperti qaf.
Namun, dari sisi nurani, Abu Hayyan begitu sensitive dan empatif, ia
akan dengan mudah menangis saat mendengarkan lantunan al-Qur’an. Airmatanya
juga akan berlalu melewati pipinya tatkala mendengarkan syair ghazal dan
hamasah.
Lahir dan besar
dalam lingkungan agamis membuatnya tekum menuntut ilmu agama dan ia memilih
sebagai seorang dhahiri. Mazhab fiqihnya ia halukan pada Imam Syafii setelah ia
masuk ke Mesir, dan ia juga menggunakan pendapat-pendapat Imam Malik sebagai
madzhab yang banyak diikuti di Maghrib.[5]
Mazhab kebahasaannya di antara dua mainstream mazhab besar yakni Bashrah dan
Kuffah, ia lebih condong pada Basrah. Meski banyak kaidah nahwiyah dan sharaf
yang di tulis oleh Abu Hayyan yang kedua ilmu itu berkembang pesat di Kuffah.
Hal ini menandakan bahwa Abu Hayyan tidak terlihad jumud dalam mazhab
kebahasaan ini dan mampu menempatkan porsi kedua kutub dengan sesuai.
Kemahirannya
dalam membaca al-Qur’an mengantarkan ia berhadapan dengan tokoh-tokoh terkemuka
seperti Khatib Abu al-Haq ibn Ali, Khatib Abi Ja’far ibn Thabbai, dan Hafidz
bin Ali. Ketika di Aleksandria ia juga pernah membacakan bacaannya dihadapan
Abdun Nasir bin Ali dan di Mesir kepada Abi Thahir Ismail bin
Abdullah.kecintaannya terhadap ilmu membawanya untuk berguru keberbagai ulama.
Ia menguraikan, bahwa terdapat 450 orang guru yang pernah ia timba ilmunya.[6]
Ia juga dengan baik telah membaakan kitab Sibawaih kepada gurunya Ibn Nuhas. Ia
juga rajin mengikuti forum Syamsuddin al-Ashbahani, mempelajari Hadis, Adab, Sejarah
dan keilmuan lainnya. Ia juga beberapa kesempatan menaruh perhatian pada ilmu
ushul dan mantiq.
Abu Hayyan
adalah dalam bidang kebahasaan dan sastra. Ia menghafal banyak syair Arab.
Sebagaimana mazhab Bashrah yang dianut oleh Abu Hayyan dalam ilmu bahasa
mengharuskan penguasaan syair. Syair bahkan diakui sebagai salah satu kaidah
bahasa selain criteria lainnya seperti riwayat qiraah dan bahasa kabilah Arab.
cabang yang nantinya menjadi modal berharga dalam menunjang proses penafsiran
al-Qur’an. Keahlian lainnya ialah bidang ilmu hadis yang ia tekuni dan membuatnya memahami
biografi rijal dan tingkatan-tingkatannya.[7]
Di tengah
kritisnya pemikiran Abu Hayyan dan keberaniannya dalam menghadapi orang-orang
berpengaruh, menimbulkan peristiwa besar dalam sejarah hidupnya. terlebih saat
ia mengkritisi beberapa gagasan gurunya yang bernama Ahmad bin Ali ath-Thaba’I.
Abu Hayyan mengkritisi gurunya sendiri melalui karya al-Ilma’ fi Ifsad Ijazah
Ibn ath-Thaba’i. tidak terima atas perlakuan muridnya, ath-Thaba’I kemudian
melaporkan perbuatan Abu Hayyan pada Amir. Kemudian keputusan Amir diambil yang
isinya meminta Abu Hayyan menghadap, namun karena khawatir, Abu Hayyan kemudian
memilih menyeberangi lautan dan akhirnya sampai di Mesir pada tahun 680 H..
Mungkin pelariannya menyeberangi samudera ini juga yang mengilhami Abu Hayyan
untuk menamai magnum opusnya dengan Bahr al-Muhith.[8]
Peta riwayat Geografis hidup Abu Hayan
Ilustrasi
Rihlah : Lihat Ahmad Khalid Syukri, Abu
Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar,
2006), hlm. 19.
Beberapa kota yang pernah disinggahi oleh Abu Hayyan adalah :
Gharnathah, Malaqah, Tunis, Iskandariyah, Kairo, Dimyat, Thuhurmus, Disyna,
Qina, Bilbis, Sudan, Makkah, dan Jiddah.
Kepergian Abu
Hayyan keluar Andalusia merupakan keberuntungan dalam satu sisi, karena seiring
kepergiannya, Andalusia dengan kegemilangan ilmu dan pengetahuan kian merosot.
Belum lagi runtuhnya masa keemasan Islam diperparah oleh masuknya kekuatan
Aragon yang membangkaitkan kembali Kerajaan Kristen di Andalusia pada 1258.
Satu sisi Mesir dengan pesat berubah menjadi bangsa dengan peradaban keilmuan
yang selangkah-demi langkah kian maju. Nasib baik yang berpihak kepada Abu
Hayyan ini memberikan peluang baginya untuk berkiprah lebih focus dalam
keilmuan, dan hidup lebih tenang dalam sisa usianya.
Kegemilangan
Mesir dan Syam, dua kota yang menjadi tumpuannya setelah lari dari Andalusia
berjalan semakin pesat. dari kedua kota ini pula lahir ulama-ulama besar pada
masa Abu Hayyan di antaranya adalah : Ibn Malik (w 672 H.), Ibn an-Nuhas (w 698
H.), Ibn Daqiq al-Id (w 702 H), Ibn Mandzur (w. 711 H.), Ibn Taymiyyah (w 728
H.), Ibn Qayyim (w 751 H.), Ibn Aqil (w. 769 H), dll.
Abu Hayyan wafat
di Mesir pada 28 Shaffar tahun 745 H atau 1345 M. tepatnya pada hari sabtu
ba’da asar.[9]
Meski pendapat ini merupakan pendapat yang umum dipegang oleh ahli sejarah,
namun terdapat keterangan tahun lainnya seperti 743 H. beliau dikuburkan di
luar bab an-Nasr di Kairo tepatnya di pekuburan as-Sufiyyah.
2.
Guru-Guru Abu Hayyan
Diprediksikan terdapat 450 orang guru yang pernah ia timba ilmunya.[10]
Di antara guru-guru beliau adalah : 1) Ibn Zubair, Ibn Abi al-Ahwash, 3). Ali
bin Ahmad bin Abdul Wahid, 4) Muhammad bin Sulaiman bin Hasan bin Husain, 5)
Muhammad bin Yahya bin Abdur Rahman bin Abu Rabi’, 6) Ahmad bin Sa’d bin Ali
bin Muhammad al-Ansari, 7) Ibn Thaba’,8) Khalil bin Utsman al-Maraghi, 9) Ahmad
bin Abd an-Nur dan lain-lain.[11]
3.
Murid-murid Abu Hayyan
1)
Ibrahim bin Muhammad bin Abdul Wahid ad-Dimasyqi, 2) Ibrahim bin
Ahmad bin ‘Isa, 3) Burhanuddin al-Hikari, 4) Ahmad al-Hambali, 5) Ibn Maktum,
Ahmad bin Abd al-Qadir, 6) as-Safaqisi : Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim, 7.
Baha’uddin as-Subki, 8) Ahmad bin Yahya Fadhlullah, 9) al-Muradi, dan
lain-lain.
4.
Karya-Karya Abu Hayyan
Abu Hayyan merupakan seorang polymath atau orang yang ahli dalam
banyak disiplin keilmuan sekaligus. Ia telah menulis beberapakarya di bidang
lughah, qiraah, hukum atau fiqih, sastra, dan tafsir. [12]
Menurut Muhammad Jasim Ad-Dulaimi,
muhaqqiq salah satu kitab Abu Hayyan yang berjudul Taqrib al-Muqarrib menyatakan bahwa ia menemukan sekitar 70[13]
karya yang dihasilkan oleh beliau, di antaranya adalah:
1) Bahrul Muhith, 2)
Nahrul Mad, 3) Aqdu al-Lali fi Qiro’at as-Sab’I al-Awali, 4) Al-Khalil
Khaliah fi Isnad Qiraat al-Aliah, 5) Taqrib al-Na’I fi Qiraat al-Kisa’i. 6)
Al-Wahaj fi Ikhtisar al-Minhaj, 7) Al-Anwar al-Ajali fi Ikhtisar al-Mahla,
8) Masail al-Rasyid fi Tajrid Masail Nihayah Ibn Rasd, 9) Al-I’lam bi
Arkan Islam, 10) Itihaf al-Arib bima fi al-Quran, 11) Irtidha’ fil
Farqu baina Dhad wa zho’, 12) Al-Idra’ al-Lisan, 13) Al-Tazkirah, 14) al-Syazan
fi Masailah Kaza, 15) Al-Syazarah 16) Ghoyah al-Ihsan fi Ilmu Lisan. 17) Diwan
asy-Syi’ri, 18. Mabda’ fi Tashrif, 19. Al-Maznu al-Hamir fi Qiraah Ibn Amir.
20. Fadhl an-Nahw, 21. Fadl al-Qur’an, al-Hidayah fi an-Nahw, dan lain
sebagainya.
C.
Deskripsi Kitab Tafsir Bahrul Muhith
1.
Latar Singkat Kepenulisan
Tafsir ini ditulis pada tahun 710 Hijriyah ketika Abu Hayyan
berusia 54 tahun. Kesempatan menulis tafsir ini seiring dengan profesinya yang
terfokus dalam mengajar tafsir di Madrasah Tafsir di Qubbah al-Malik al-Mansur
Kairo. Salah satu motivasi Abu Hayyan dalam menulis adalah seiring kesadarannya
akan usia yang telah hampiur enam puluhan dan telah lepas masa mudanya berganti
dengan masa tua.[14]
2.
Sistematika
Kitab
ini terdiri dari delapan juz. Secara tahlili menafsirkan dari surat
al-Fatihah hingga surat an-nas. Menurut adz-Dzahabi, kebanyakan pembahasan
kitab ini didominasi oleh kajian bahasa dan sastra. Memiliki kredibilitas
sebagai rujukan tafsir I’rab al-Qur’an atau kaidah perubahan kata
berdasarkan perubahan derifasinya. Memiliki kajian balaghah yang luas termasuk
pula ilmu badi’ dan bayan. Kaarena hal tersebut, sering pembaca kesulitan
membedakan apakah kitab ini merupakan kitab tafsir ataukan kitab nahwu.[15]
Metode
penafsiran Abu Hayyan dalam tafsir ini adalah dibuka dengan menjelaskan makna
lughawiyyah, terkadang juga menjelaskan kata per kata seperti contoh saat
menafsiri kata بورك dalam menafsiri surat an-Naml ayat 8 yang
diidentikan dengan berkah yang diartikan dengan قدس او
طهر او زيادة خير kudus, suci, dan bertambahnya kebaikan.[16]
Allah menggunakan bentuk muta’addi majhul yang menunjukkan adanya
objek namun subjek disembunyikan. Sedangkan bentuk bentuk lazimnya adalah تبارك.[17]
Selain menafsiri kata-kata yang dianggap
khusus dan mengandung konsep tertentu, Abu Hayyan juga menaruh perhatiaannya
pada asbab an-nuzul, menjelaskan nasikh dan mansukh, memaparkan qiraah-qiraah
dan perbedaannya terhadapa suatu ayat yang diperselisihkan. Abu Hayyan juga
menyertakan argument fiqih bila menemui ayat yang berimplikasi hukum. Runtutan
penafsiran Bahrul Muhith adalah diawali dengan mengurai makna kata per kata,
kemudian makna kalimat per kalimat.jika terdapat makna yang berbeda dalam satu
kalmia, maka akan diuraikan keduanya untuk ketahui dan dibandingkan untuk
dicari makna yang lebih sesuai. Kemudian dalam rangkaian penafsiran juga
diutarakan kesinambungan ayat dengan ayat sebelumnya sebagai upaya mengetahui
pertalian antar ayat. Abu Hayyan juga member komentar akhir dengan menguraikan
peryataan-pernyataan penutup serta beberapa kesimpulan yang diuraikan dengan
sastra.
3.
Keterpengaruhan Bahrul Muhit
Bahrul
muhith sebagaimana kitab atau karya yang lahir sebagai buah penafsiran tidak
lepas dari pengaruh pemikiran lainnya yang mengkonstruksi pengetahuan penulis.
Dalam menguraikan ayat-ayat fiqih, Abu Hayyan menggunakan landasar madzahib
al-Arba’ah dan pendapat lainnya lainnya. Hal ini sebagaimana rujukannya dalam
menafsiri surat al-Maidah 5:6[18]
tentang mengusap kepala. Ia mengutip argument kebahasaan Zamakhsyari yang
menyandingkan term mash dengan term ilshoq. Ilshaq menurut
Zamaksyari bermakna mengusap kepala baik sebagian maupun secara keseluruhan.[19]
Keterpengaruhan
Abu Hayyan dengan sosok controversial Zamakhsyari ini naik ke permukaan
sebagaimana kritik murid Abu Hayyan yang bernama Tajuddin Ahmad bin Abdul-Qadir
bin Maktum (w. 749 H) yang mempersoalkan kemuktazilahan Zamakhsyari yang
dikutip gurunya. Ia berargumen sebagaimana yang diyakini adz-Dzahabi bahwa abu
hayyan menolak pandangan kaum bathiny, di antaranya adalah kaum filsuf dan kaum
rasionalis yang meyakini adanya makna batin di dalam dhahir nash dalam ta’wil
mereka terhadap al-Qur’an. Dari sinilah term tafsir di benturkan dengan ta’wil.[20]
Tidak
mungkin Abu Hayyan mengurtip argument kaum rasionalis seperti mu’tazilah. Namun
kenyataannya ia mengutip argument-argument zamakhsyari. Hal ini ditambah lagi
dengan kutipan Abu hayyan terhadap Ibnu Athiyyah (w 541 H) yang juga merupakan
sosok yang juga kontroversial sebagaimana Ibn Taimiyah pernah menyebut penulis
tafsir Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz ini telah I’tizal meski telah menyatakan sebagai
asy’Ary.[21]
Untuk
memahami ketumpang-tindihan ini, melalui karya Darrul Luqith min Bahrul
Muhith, Tajuddin menjelaskan bahwa memang Abu Hayyan mengutip Ibn
Zamakhsyari dan Ibn Athiyyah, namun apa yang ia kutip tidak terkait dengan
aspek kemu’tazilahan dan hanya aspek kebahasaan, karena Zamakhsyari dan Ibn
Athiyyah selain merupakan rasionalis, namun mereka berdua memiliki sisi
keahlian lain yaknoi dari segi cabang keilmuan bahasa dan sastra. Upaya
penjelasan ini kemudian diteruskan oleh Yahya asy-Syawi al-Maghribi yang
menulis karya berjudul Baina Abi Hayyan wa Zamakhsyari. Karya ini
ditujukan sebagai upaya menjauhkan Abu Hayyan dari klaim bahwa ia bagian dari
mu’tazilah.[22]
Penafsiran
Abu Hayyan terhadap ayat ke 64 surat al-Maidah mempertegas posisinya sebagai
seorang Asyariyyah yang tidak sama dengan kaum bathini, dari para filsuf dan
sufi. Tidak sama dengan Zamakhsyari, Ibn Athiyyah, ar-Razi, dan Baqilani. Ia
menyatakan dalam menafsiri ayat diatas tentang tangan tuhan ialah dengan
menjauhi pemikiran antropomorfsime tanpa mempertanyakan (bila kaifa).
D.
Karakteristik Bahrul Muhit
1.
Analisa Sintagmatis Abu Hayyan
Sewcara
intrinsik, Abu Hayyan menjelaskan bahwa ayat al-Qur’an merupakan rangkaian
dengan susunan sintagmatis yang terdiri dari fungsi-fungsi tertentu. Pengurutan
term tidak dilakukan secara acak, namun secara presisi Tidak secara kebetulan,
namun memang terdapat kesengajaan dari author yang ingin menyampaikan
pesan-pesan melalui runtutan ini. Dalam salah satu ayat tepatnya surat an-Nisa
ayat 43. Secara indah, Abu Hayyan menafsiri al-Qur’an berdasarkan runtutannya.
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ او لامستم النساء
Terdapat empat
term yang bergaris bawah pada ayat di atas. Keempat term tersebut juga
sekaligus mewakili empat alasan diperbolehkannya tayammum. Abu Hayyan
menjelaskan alasan Allah mengurutan empat term di atas yakni untuk menunjukkan
tingkatan keadaan basyariyyah manusia berdasarkan dari yang paling berat hingga
yang paling ringan. Dari hal yang paling jarang dialami manusia hingga hal yang
paling sering dialami manusia. Ayat di atas menempatkan sakit lebih berat dari
pada hajat bepergian, hajat bepergian lebih berat daripada buang hajat, dan
buang hajat lebih berat dari pada menyentuh perempuan.[23]
Keadaan
basyariyah dalam an-Nisa’ 43
Sakit è bepergian è buang hajat è meyentuh perempuan (jima’)
2. Perbedaan
Pendapat Mengenai makna term lamastum
Bermula dari
perbedaan qiraat nantinya akan berujung pada beredanya konsekwensi hokum,
Hamzah dan Kisa’I menggunakan term لمستم (tanpa menggunakan alif)
yang identik dengan makna isytirak
(kesepakatan laki-laki dan perempuan) hal ini membuat Imam Malik menyatakan
bahwa tanpa syahwat seorang laki-laki dan perempuan tidak batal jika
bersentuhan kulit. Imam Hanafi berpendapat baik syahwat maupun tidak, seorang
tidak harus bersuci, karena menyentuh yang dimaksud adalah jima’.[24]
Imam Syafi’I termasuk sangat berhati-hati dalam hal ini dengan mendefinisikan لامستم dengan إذا أفض بشيء من جسده إلي بدن المرأة
jadi, bagaimanapun dan dengan anggota badan manapun, persentuhan kulit
akan membatalkan wudhu. Hal ini berbeda dengan argument auza’I yang menyatakan
menyentuh adalah dengan tangan. Selain tangan tidak dinamakan menyentuh.[25]
Imam Syafi’I memang terkesan seorang yang sangat
hati-hati dalam menentukan pendapatnya sebagai istinbat dari sumber hokum. Hal
ini terlihat dengan pengambilan keputusannya dalam menjelaskan tafsir dari term
مرضي
pada ayat di atas. Ketika Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat
seorang yang sehat ketika takut menjadi sakit saat melakukan wudhu dengan
menggunakan media air boleh tayammum, Imam Syafii tidak membolehkannya karena
ayat tersebut secara tekstual menjelaskan tayammum adalah keringanan dari tuhan
untuk orang yang sakit, bukan orang yang takut sakit.[26]
Daftar Pustaka
المراجع
adz-Dzahabi,
Husain. at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist, 2005).
Ali, Ahmad Khudhoir Abbas. Atsarul
Qur’an Fi Taujihil Ma’na fi Tafsir al-Bahr al-Muhith (Kufah: Jami’ah
al-Kufah, 2010).
as-Sindy, Abdul Qayyu>m bin Abdul Gaffu>r. ‘Ulu>m al-Qira>’at (Beirut: al-Maktabah al-Amda>diyyah, 2001).
az-Zarka>syi, Badruddin
Muhammad bin Abdullah. al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut:
Da>r al-Kita>b al-‘Ilmiyyah,
2007).
Abu
Halib, Audah. “I’tiradhat Abu Hayyan ‘Ala al-Farra’ “, makalah Jami’ah
Islamiyyah, Gaza, 2011.
al-Asadi,
Muhammad Hasan Abbas. “Rudud Abu Hayyan al-Andalusi wa Tarjihatih Fi Tadzkirah
an-Nuhah” jurnal Jamiah lilid 18 ke III 2010, hlm. 800.
Hayyan
, Abu.
Bahrul Muhith (Beirut: Daar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993).
Hidayat,
Kamaruddin. Memahami Bahasa Agama (Bandung : Miazan, 2011).
Ibn
Athiyyah, Abu Muhammad Abdul Haq. Muharror al-Wajiz jilid 4 (Beirut: Daar
al-Khair, 2007).
Manz{ur, Ibn. Lisa>n
al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
Shihab.
Quraish, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
Syukri,
Ahmad Khalid. Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan:
Daar Ammar, 2006), hlm. 13.
[1] Badruddin
Muhammad bin Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m
al-Qur’a>n Juz I (Beirut: Da>r al-Kita>b
al-‘Ilmiyyah, 2007), Hlm. 326.
[2] Secara etimologis Kata qira>’a>t (قراءات) merupakan bentuk jama’ dari qira>’ah (قراءة ) yang dalam qaidah bahasa Arab merupakan
bentuk mas}dar. Sedangkan, bentuk mad}i kata ini adalah قرأ
, dan bentuk mud}a>ri’nya
ialah يقرأ. Kata ini dalam bentuknya sebagai mashdar dapat juga
menjadiقرأَن yang memiliki makna تلا - تلاوة yakni membaca. Selain bermakna membaca,
kata ini juga bermakna الجمع dan الضمّ. Lihat : Ibn Manz{ur, Lisa>n
al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah), hlm.157. Secara terminologis, Qiraah sering dimaknai :
هو
علم يعرف به كيفية النطق بالكلمات القرأنية وطريق أداءها إتّفاقا و اختلافا مع عزو
كل وجه لنا قله”“qira>’ah adalah ilmu untuk mengetahui tata cara
mengucapkan kalimat Qur’ani dan metode memposisikannya sesuai dengan
kesepakatan maupun perbedaannya yang dinisbatkan pada setiap kemungkinan wajah
dimana ia dinukil” orang yang pertama kali membukukan ilmu qiroat adalah Abu
Ubaid al-Qasim bin Sala>m (w. 224 H), sedangkan sebagian yang lain
berpendapat bahwa yang pertama kali menyusun buku metodologi ilmu qiroat adalah
Abu> Hati>m as-Sijista>ni (w. 255 H).Lihat: Abdul Qayyu>m bin Abdul Gaffu>r as-Sindy, ‘Ulu>m al-Qira>’at (Beirut: al-Maktabah al-Amda>diyyah, 2001), hlm. 15.
[3] Di antara ketujuh Imam Qiraat tersebut adalah:
1) Na>fi’ bin Abdirrah}ma>n (w. 169 H), 2) Abdulla>h bin Kas}i>r (w. 120 H),
3) Abu> Amr (w. 154 H), 4) Abdulla>h bin Ami>r (w. 118 H), 5)‘As}i>m (w. 127 H), 6) H}amzah bin H}abi>b (w. 156 H), dan 7) Ali bin H}amzah al-Kisa>’I (w. 189 H). Lihat: Badruddin Muhammad bin
Abdullah az-Zarka>syi, al-Burha>n fi>> Ulu>m al-Qur’a>n Juz I (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Ilmiyyah, 2007), hlm. 226-227.
[4]
Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist,
2005), hlm. 271.
[5]
Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr
al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 13.
[6]
Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist,
2005), hlm. 271.
[8]
Selain sebab ini, terdapat sebab lainnya seperti pendapat Abi Hayyan yang lebih
memilih penggunaan hadis dalam berpendapat yang jauh dari tradisi Andalusia
yang berhaluan pada logika. Tradisi Filsafat dan Manthiq membuat Abu Hayyan
memilih untuk mencari keleluasaan keilmuan. Lihat Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan
al-Andalusi wa Manhajuhu Fi al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006),
hlm. 17.
[9] Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi
al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 17.
[10]
Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar el-Hadist,
2005), hlm. 271.
[11] Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi
al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 47-56.
[12]
Lihat Audah Abu Halib, “I’tiradhat Abu Hayyan ‘Ala al-Farra’ “, makalah
Fakultas Adab Jami’ah Islamiyyah, Gaza, 2011
hlm. 12.
[13]
Muhammad Hasan Abbas al-Asadi, “Rudud Abu Hayyan al-Andalusi wa Tarjihatih Fi
Tadzkirah an-Nuhah” jurnal Jamiah lilid 18 ke III 2010, hlm. 800.
[14] Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi
al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 17.
[17] Ahmad Khalid Syukri, Abu Hayyan al-Andalusi wa Manhajuhu Fi
al-Bahr al-Muhith (Ardan: Daar Ammar, 2006), hlm. 131.
[20] Ta’wil berasal dari kata ‘aul yang bermakna kembali. Ta’wil
merupakan upaya untuk mengembalikan maksud ayat pada makna yang sebenarnya.
Beberapa ayat al-Qur’an dianggap banyak memiliki makna majazi, sehingga
penta’wil mencoba menggeser makna dari sisi tekstualitas redaksi ayat. Menurut
Quraish Shihab, ta’wil adalah mengembalikan makna kalimat kea rah yang
bukan makna harfiyahnya. Terlepas dari pemaknaan ini, beberapa ulama ada yang
menyamakan antara tafsir dengan ta’wil dan ada pula yang membedakannya.
Beberapa mufassir juga bahkan menamai kitab tafsirnya dengan menggunakan
istilah ta’wil. Hal ini sebagaimana ath-Thabari (839-923 M) yang menamai
kitabnya dengan “Jami’ al-Bayan fi Ta’wil ayat al-Qur’an”. Hal yang
serupa juga dilakukan oleh Muhammad Ibrahim al-Qasimy (1866-1914 M) yang menamai
karyanya dengan Mahasin at-Ta’wil. Selain definisi-definisi tersebut,
banyak lagi definisi yag menjelaskan tentang ta’wil. Salah satunya
adalah Abu al-Qasi bin Habib an-Nisaburi (406-1016 M) bahwa ta’wil
adalah mengalihkan makna ayat namun tetap dengan berpegang pada ayat sebelum
dan sesudahnya. Dalam melakukan penta’wilan diperlukan sebuah istinbat. Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa
tidak semua penafsir adalah penta’wil.
Beberapa cendekia muslim sangat menekankan kehati-hatian atas ta’wil ini,
bahkan Nasr Hamed (1943-2010 M) dalam mafhum an-Nash juga turut
membatasi bahwa bagaimanapun ta’wil harus tetap berpegang pada teks,
sehingga ta’wil tidak dapat meloncat dari teks. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 220. Sementara, para Pakar menyebut
bahwa ta’wil mengandung empat unsure 1. Nash/teks, 2. Maqashid
asy-syari’ah, 3. Kondisi atau kenyataan yang dibicarakan oleh Nash,
dan 4. wawasan seorang penta’wil. Ibid. hlm. 225. Sehingga, darisini
dapat diketahui bahwa Tafsir adalah proses mengurai dalam menjelaskan,
sedangkan ta’wil adalah upaya mengembalikan makna pad aide awal gagasan.
Lihat : Kamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Bandung : Miazan,
2011), hlm. 211.
[21] Ia menafsiri surat yunus 10:26 tentang term balasan Husna pada
orang yang berbuat husna sebagai surga sebagaimana argument ulama pada umumnya,
namun ketika menafsiri ziyadah ia mengemukakan maknanya sebagai melihat Allah.
Ia juga menyebutkan makna ziyadah sebagai ruangan yang berhias mutiara
sebagaimana pendapat Ali bin Abi Thalib. Ia menutup argument dengan
merasionalkan bahwa yang dimaksud ziyadah adalah perlipatan pahala menjadi 700
kali lipat. Jika melihat argumentnya, sebenarnya Ibn Athiyyah hanya
mengemukakan pendapat orang lain, dan bukan I’tizal. Lihat: Abu Muhammad Abdul
Haq Ibn Athiyyah, Muharror al-Wajiz jilid 4 (Beirut: Daar al-Khair,
2007), hlm. 474.
[22] Yahya asy-Syawi menytatakan bahwa alasan Abu hayyan mengutip
Zamakhsyari adalah:لانه من مهارة فائقة فى تحلية بلاغة القران و قوة بيانة . hal in menunjukkan bahwa Abu Hayyan
hanya mengutip Zamakhsyari hanya pada aspek kebahasaan, bukan pada aqidah. Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Daar
el-Hadist, 2005), hlm. 274.
[23] Abu Hayyan sebenarnya menjelaskan runtutan term di atas berdasarkan
yang paling sering dialami oleh manusia pada umumnya seperti manusia lebih
banyak sehat dari pada sakit. manusia lebih sering mengalami persentuhan dengan
orang lain daripada buang hajat; manusia lebih sering buang hajat daripada
bepergian; manusia lebih sering bepergian daripada sakit. dalam kehidupannya
sakit jarang dialami oleh manusia, kebanyakan waktunya dijalani dengan sehat.
lihat Abu Hayyan al-Andalusi, Bahrul Muhith (Beirut: Daar al-Kitab
al-Ilmiyah, 1993) hlm 269. Dari analisa kebahasaan ini, terlihat Abu Hayyan
mengoprasikan kaidah taqdim dan ta’khir. Kaidah ini pada mulanya
digunakan sebagai landasan menentukan maksud teks tentang mana kata yang harus
diletakkan di awal dan mana yang harus diletakkan di akhir. Sebagaimana tafsir
Abu Hayyan dalam surat al-Baqarah 2: 55. Terdapat tiga term وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى
لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً. Jahratan dalam kaidah sebenarnya berada
pada setelah term قُلْتُمْ karena jahr untuk suara tapi dalam al-Qur’an term ini
diakhirkan (ta’khir) untuk menunjukkan posisinya sebagai maf’ul
muthlaq sebagai keterangan dari نَرَى (melihat).
Lihat: Ahmad Khudhoir Abbas Ali, Atsarul Qur’an Fi Taujihil Ma’na …(Kufah:
Jami’ah al-Kufah, 2010), hlm. 203.
[24] Kata لمس dalam lisan al-Arab
memang mengandung arti menyentuh dengan tangan, namun kata ini merupakan juga
bermakna kinayah dari bersetubuh. Sebagaimana pendapat Ibn Abbas. Bahkan dalam
konteks Arab term لمس diidentikkan atau biasa
dipakai dalam menyebut perempuan yang berzina yang diistilahkan dengan لاترد يد لامس . lihat: Ibn Mandzur, Lisan al-Arabjuz VIII (Mesir: Dar al-Mishriyyah,
711 H), hlm. 93.
0 komentar:
Posting Komentar